Semenjak kesejahteraan bukan jaminan bagi kaum miskin, semenjak itu pula mereka sadar negeri ini bukan tempat berpijak yang aman dari kelaparan. Tidak ada sandaran empuk menggantungkan nasib yang tinggal seutas saja. Dari pedalaman, berbondong-bondong mereka datang dengan harapan besar meraup devisa dan membangun istana di kampung halaman.
Resiko tentu bagai dinding-dinding terjal yang harus didaki setapak demi setapak, namun sepertinya jalan ini dipercaya lebih baik mengubah nasib yang terkatung-katung daripada bertahan dengan koar-koar Petinggi negeri ini yang sudah lupa janjinya.
Kini sampailah cerita di negeri bermandi minyak itu, harapan yang begitu besar kandas ketika tak setetes keringat dihargai selembar dinar. Malah lembam mendarat disekucur tubuh. Impian yang sama sekali tidak pernah dibayangkan bahkan dalam mimpi siang bolong.
Tuan berkumis tega benar menyiramkan air panas ke sekucur tubuh lemas tak cukup makan. Tuan, mampukah melakukannya pada anakmu yang semata wayang? Atau mampukah merasakan pada diri sendiri? Ajaib benar Tuan dari negeri Aladin dan Abu Nawas itu. Apakah Tuan makan bukan dari gandung dan roti? Sehingga bak moster yang melahap budaknya tanpa ampun.
Bagaimana Tuan menuliskan sejarah kelam manusia yang tak manusiawi ketika nanti Tuan dipersaksikan seluruh umat kelak? Duhai Tuan penguasa dari negeri berperadaban.