Pena Katulistiwa media yang memuat artikel bebas. Bahasa tidak mutlak menjadi persyaratan yang utama tulisan bermakna dan bermanfaat. Tulisan tidak berisikan GPBF (Gosip prasangka gunjing dan fitnah) serta menebarkan kesalahan orang lain.
Setiap perbuatan pasti akan mendapat balasan. Kebaikan akan mendatangkan kebaikan, keburukan berdampak pada keburukan. Kebaikan yang kita lakukan akan dibalas di dunia ini juga. Tetapi, apakah kebaikan mampu menyelamatkan kita di akhirat kelak tanpa mengindahkan perintah lainnya?
Tuhan memerintahkan kita shalat, zikir dan ketentuan syariat lain agar hidup kita bahagia. Tentu tak hanya mengerjakan satu perintah. Banyak sekali jalan menuju ridho-Nya.
“Dan tidak ada sesuatupun yang menghalangi
manusia dari beriman ketika petunjuk telah datang kepada mereka, dan memohon
ampunan kedapa Tuhannya, kecuali (keinginan menanti) datangnya hukum (Allah
yang telah berlaku pada) umat-umat yang dahulu atau datangnya azab atas mereka
dengan nyata,”(QS. Al-Kahf : 55).
Ayat di atas sesungguhnya menegur dengan
kehalusan dan kelembutan bahasa Illahi yang menerangkan pesan Tuhan untuk
segera bertaubat dan memohon ampunan kepada-Nya. Tentu taubat yang dimaksud
bukanlah atas dosa besar ketika ia membunuh, memperkosa, merampok, mencuri,
berzina, berjudi dan mabuk-mabukan. Sebab hanya dosa ini yang terpatri dalam
pikiran kita sebagai dosa besar.
Padahal meninggalkan shalat, mencela sahabat yangmengerjakan amalan soleh, menyatakan ah
kepada orang tua dan mengambil hak orang lain adalah termasuk golongan
perbuatan maksiat. Karena maksiat itu adalah apa-apa yang dilarang dan harus
segera ditinggalkan karena Allah SWT. Oleh sebab itu, jangan hanya membatasi
maksiat pada unsur perbuatan kekejaman yang bertentangan dengan norma-norma
publik saja.
Tanpa kita sadari banyak hal-hal lain yang
justru lebih merugikan orang lain dan secara berkesinambungan menyebabkan
kerusakan tatanan kehidupan. Justru hal-hal kecil yang terus menerus dilakukan
hingga menjadi akar penyakit yang berkembang di masyarakat.
Kita sebut saja antri di tempat-tempat umum
seperti saat pembayaran tariff listrik, antri di balai pengobatan, pembayaran
di kantor perpajakan, menabung di Bank dan sebagainya. Tertib antri di sarana
publik tidak akan ada orang yang memperhatikan apalagi memberi penghargaan.
Namun, hal ini pula yang menjadi budaya menghargai kepentingan orang lain.
Bukan malah mengutamakan kepentingan sendiri.
Apa dampak buruknya? Akibat dari mencuri
kesempatan orang lain, seperti saat ini kita dihadapkan pada problema bangsa
yaitu kemacetan lalu lintas. Mengatasi problem ini pemerintah berupaya
melakukan pelebaran jalan dan membangun jalan baru. Namun apa yang diharapkan tidaklah
sesuai dengan keinginan. Tetap saja solusi kemacetan menjadi impian belaka.
Selain volume transportasi semakin meningkat,
polusi semakin pekat dan kemacetanpun semakin parah. Sebagai bukti, kemacetan
khusus wilayah Ibu Kota Negara kita. Dampak kemacetan memang dirasakan oleh
segenap lapisan masyarakat terutama yang tinggal daerah perkotaan hampir di
seluruh Indonesia.
Penyebabnya adalah ketidakpedulian terhadap
kepentingan orang lain, selalu mendahulukan diri sendiri. Hal ini berawal
seperti yang dikatakan sebelumnya. Berawal dari kesadaran dan kesabaran tertib
antri di segala sarana publik.
Ketidakpedulian ini mengingatkan kita akan
ilustrasi berikut. Kisah seekor tikus dan empat sahabatnya. Suatu hari tikus
melihat pemilik rumah membeli perangkap tikus yang baru. Tikuspun gundah dan
menceritakan kepada sahabat-sahabatnya.
Datanglah tikus pada ayam dan menceritakan
kegundahannya, tapi ayam malah tertawa dan berkata, malang benar nasibmu, perangkap
tikus tidak akan membahayakanku. Mendengar hai itu, tikus kecewa sekali.
Kemudian pergilah ia menemui ular dan menceritakan hal yang sama. Ular malah
bersikap sama seperti ayam. Ular berkata sahabatku yang malang, itu tidak akan
menbunuhku.
Tak patah arang, tikuspun menemui kedua
sahabatnya, kambing dan sapi. Tidak jauh dari sikap ayam dan ular,
ketidakpedulian sahabatnya sangat disesalkannya. Kini tikus merasa harus
menghadapi persoalan ini sendirian.
Singkat cerita, suatu hari ular tanpa sengaja
terperangkap dalam rumah tadi. Ular bingung menemukan jalan keluar.
Kepanikannya menyebabkan ekornya menyentuh perangkap tikus itu. Karena
kesakitan ular mengeluarkan suara berisik, sehingga diketahui keberadaan ular
oleh istri pemilik rumah.
Melihat ada seekor ular dalam rumahnya, sang
istripun mengambil sebilah kayu dan memukul ular. Namun sayang, ular sempat
mematuk kakinya. Alhasil istri pemilik rumah harus dilarikan ke rumah sakit.
Ular yang tadi terkena pukulan kayu menjadi lemah dan mati.
Tak terselamatkan nyawa sang istri, ia pun
meninggal. Upacara pemakaman disiapkan, ayam terpaksa dipotong untuk makan para
sanak keluarga. Tidak cukup hanya ayam, kambing pun jadi santapan handai tolan
yang berdatangan ke rumah tersebut. Beberapa hari kemudian nasib sapi berakhir
dalam kuali dalam upacara mendoakan istri pemilik rumah. Tikus hanya dapat
bersedih dan menyesali peristiwa itu dari kejauhan.
Hal kecil yang tidak pernah terpikirkan oleh
kita dapat menjadi dampak yang sangat besar dan susah sekali diperbaiki.
Ilustrasi tadi dapat kita seimbangkan dengan sikap kita dalam kehidupan
berdampingan dengan orang lain. Seberapa besar kepedulian kita untuk tidak
berlomba-lomba melintasi lalu lintas? Seberapa seringnya kita tidak mematuhi
peraturan lalu lintas?
Seperti yang diperingatkan tikus pada ilustrasi
di atas. Demikian halnya selogan-selogan dan imbauan agar mentaati peraturan
lalu lintas. Penyakit yang mendarah daging menjadi ciri bangsa ini, padahal
sebenarnya kita sadar, perilaku menyimpang sangat merugikan banyak pihak.
Apakah ini tidak termasuk dalam kesombongan?
Manakala peraturan telah ditegakkan, dikarenakan kesombongan, sehingga
menyebabkan kerusakan di muka bumi. Maka dari itu, kita patut kawatir apakah
kitatermasuk golongan orang zalim itu?
Kalau demikian kita perlu menginstrospeksi diri dan berubah dari sekarang untuk
mewujudkan peradaban manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian
berdasarkan akhlakul karimah.*
Dari Abu Hurairah menceritakan bahwa ada seorang
laki-laki datang kepada Rasulullah untuk meminta nasihat beliau. Orang itu
berkata, "berilah wasiat (nasihat) kepadaku...". Rasul bersabda, "janganlah
engkau marah...!". Kemudian orang itu mengulang berkali-kali
permintaan nasihatnya kepada Nabi, maka Nabi pun mengulangi jawabannya, "janganlah engkau marah" (HR.
Bukhary: 5765)
Rasulullah memberi nasihat yang ringkas namun
mencakup semua sifat baik, yaitu nasihat agar selalu menahan kemarahan. Orang
yang bertanya kepada Nabi itu mengulang permintaannya berkali-kali dan Nabi
memberikan jawaban yang sama. Ini menunjukan bahwa melampiaskan kemarahan
adalah sumber segala keburukan dan menahannya merupakan penghimpun segala kebaikan
[1]
Imam Ja'far bin Muhammad mengatakan: "kemarahan adalah
pembuka segala keburukan"
imam Abdullah bin Al-Mubarak Al-Marwazy, ketika
ada yang meminta kepada beliau, "sampaikanlah (nasihat) kepada kami
yang menghimpun semua akhlak yang baik dalam satu kalimat". Beliau berkata, "tinggalkanlah amarah".
Demikian pula Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Ishaq bin
Ruhuyah ketika menjelaskan makna akhlak yang baik, mereka mengatakan, "(yakni)
meninggalkan kemarahan" [2]
Jadi perintah Rasulullah dalam hadits di atas, "janganlah
engkau marah" berarti perintah melakukan sebab (perantara) yang akan
melahirkan akhlak yang baik, yaitu sifat yang lemah lembut, dermawan, malu,
tawaduk, sabar, tidak menyakiti orang lain, pemaaf, ramah dan sifat-sifat yang
baik lainnya berusaha menahan emosinya pada saat ada faktor-faktor yang
memancing kemaran. [3]
Menahan amarah dan sifat pemaaf merupakan
karakteristik ahlussunnah, pada dasarnya amarah ditiupkan oleh setan pada hati
manusia maka amarah tidak akan membawa apa-apa melainkan kerusakan.
Seorang tidak akan mampu menahan amarah tanpa
memiliki sifat pemaaf, sifat pemaaf merupakan keagungan pada setiap pribadi
manusia. Inilah nasihat yang agung dan luhur dari Rasulullah bagi ummatnya agar
menahan amarah jangan mudah marah karena marah sumber kerusakan, merusak akal,
jiwa, harta dan hati. Ini juga merupakan bentuk kasih sayang dari Rasulullah
kepada ummatnya agar tidak terjerumus kepada kerusakan maka beliau mencegah apa
yang dapat membawa pada kerusakan.
Tatkala diri dan hati tersakiti, difitnah dan dibenci janganlah
sekali-kali kita membawanya pada dendam, karena dendam hanyalah membuat kita
semakin terluka dan menambah rasa sakit. Akan tetapi dengan memaafkan akan
membuat kita mendapat kemulian dengan membawanya pada keikhlasan sehingga semua
luka akan sembuh total. Ikhlas adalah penawar hati yang terluka.
Dalam sebuah kesempatan Forum Cofee Morning yang
rutin dilangsungkan di Panca Budi, Muhammad Isa Indrawan SE, Rektor Universitas
Pembangunan Panca Budi melalui sebuah buku mengatakan, Apakah anda pernah
disakiti orang? Apakah anda sakit hati? Maafkanlah maka semua membawa anda
kepada kerendahan hati dan itu sangat bermanfaat bagi anda.
Dari
Aisyah ra, "Rasulullah tidak pernah marah karena diri pribadi beliau,
kecuali jika batasan syari'at Allai dilanggar, maka beliau marah dengan
pelanggaran tersebut karena Allah" (HR. Bukhary: 3367)
Beberapa dalil di atas dan sumber yang ada
membuka pikiran kita untuk senantiasa menghindari marah. Ketika luapan emosi
menenggelamkan kita, lakukan beberapa hal. Duduklah, jika masih marah
berbaringlah, jika belum reda amarah itu berwudulah, bisa pula diteruskan
dengan salat sunat dua rakaat.
[1]
keterangan imam Ibnu Rajab dalam kitab Jami'ul 'Ulumi wal Hikam, hlm.
144 [2] semua ucapan di atas dinukil oleh Imam
Ibnu Rajab dalam Jami'ul 'Ulumi wal Hikam, hlm. 145 [3] idem[4] Syarah dari Omar Ibrahim
al-Imanulmuslim