“Dan tidak ada sesuatupun yang menghalangi
manusia dari beriman ketika petunjuk telah datang kepada mereka, dan memohon
ampunan kedapa Tuhannya, kecuali (keinginan menanti) datangnya hukum (Allah
yang telah berlaku pada) umat-umat yang dahulu atau datangnya azab atas mereka
dengan nyata,”(QS. Al-Kahf : 55).
Ayat di atas sesungguhnya menegur dengan
kehalusan dan kelembutan bahasa Illahi yang menerangkan pesan Tuhan untuk
segera bertaubat dan memohon ampunan kepada-Nya. Tentu taubat yang dimaksud
bukanlah atas dosa besar ketika ia membunuh, memperkosa, merampok, mencuri,
berzina, berjudi dan mabuk-mabukan. Sebab hanya dosa ini yang terpatri dalam
pikiran kita sebagai dosa besar.
Padahal meninggalkan shalat, mencela sahabat yang mengerjakan amalan soleh, menyatakan ah
kepada orang tua dan mengambil hak orang lain adalah termasuk golongan
perbuatan maksiat. Karena maksiat itu adalah apa-apa yang dilarang dan harus
segera ditinggalkan karena Allah SWT. Oleh sebab itu, jangan hanya membatasi
maksiat pada unsur perbuatan kekejaman yang bertentangan dengan norma-norma
publik saja.
Tanpa kita sadari banyak hal-hal lain yang
justru lebih merugikan orang lain dan secara berkesinambungan menyebabkan
kerusakan tatanan kehidupan. Justru hal-hal kecil yang terus menerus dilakukan
hingga menjadi akar penyakit yang berkembang di masyarakat.
Kita sebut saja antri di tempat-tempat umum
seperti saat pembayaran tariff listrik, antri di balai pengobatan, pembayaran
di kantor perpajakan, menabung di Bank dan sebagainya. Tertib antri di sarana
publik tidak akan ada orang yang memperhatikan apalagi memberi penghargaan.
Namun, hal ini pula yang menjadi budaya menghargai kepentingan orang lain.
Bukan malah mengutamakan kepentingan sendiri.
Apa dampak buruknya? Akibat dari mencuri
kesempatan orang lain, seperti saat ini kita dihadapkan pada problema bangsa
yaitu kemacetan lalu lintas. Mengatasi problem ini pemerintah berupaya
melakukan pelebaran jalan dan membangun jalan baru. Namun apa yang diharapkan tidaklah
sesuai dengan keinginan. Tetap saja solusi kemacetan menjadi impian belaka.
Selain volume transportasi semakin meningkat,
polusi semakin pekat dan kemacetanpun semakin parah. Sebagai bukti, kemacetan
khusus wilayah Ibu Kota Negara kita. Dampak kemacetan memang dirasakan oleh
segenap lapisan masyarakat terutama yang tinggal daerah perkotaan hampir di
seluruh Indonesia.
Penyebabnya adalah ketidakpedulian terhadap
kepentingan orang lain, selalu mendahulukan diri sendiri. Hal ini berawal
seperti yang dikatakan sebelumnya. Berawal dari kesadaran dan kesabaran tertib
antri di segala sarana publik.
Ketidakpedulian ini mengingatkan kita akan
ilustrasi berikut. Kisah seekor tikus dan empat sahabatnya. Suatu hari tikus
melihat pemilik rumah membeli perangkap tikus yang baru. Tikuspun gundah dan
menceritakan kepada sahabat-sahabatnya.
Datanglah tikus pada ayam dan menceritakan
kegundahannya, tapi ayam malah tertawa dan berkata, malang benar nasibmu, perangkap
tikus tidak akan membahayakanku. Mendengar hai itu, tikus kecewa sekali.
Kemudian pergilah ia menemui ular dan menceritakan hal yang sama. Ular malah
bersikap sama seperti ayam. Ular berkata sahabatku yang malang, itu tidak akan
menbunuhku.
Tak patah arang, tikuspun menemui kedua
sahabatnya, kambing dan sapi. Tidak jauh dari sikap ayam dan ular,
ketidakpedulian sahabatnya sangat disesalkannya. Kini tikus merasa harus
menghadapi persoalan ini sendirian.
Singkat cerita, suatu hari ular tanpa sengaja
terperangkap dalam rumah tadi. Ular bingung menemukan jalan keluar.
Kepanikannya menyebabkan ekornya menyentuh perangkap tikus itu. Karena
kesakitan ular mengeluarkan suara berisik, sehingga diketahui keberadaan ular
oleh istri pemilik rumah.
Melihat ada seekor ular dalam rumahnya, sang
istripun mengambil sebilah kayu dan memukul ular. Namun sayang, ular sempat
mematuk kakinya. Alhasil istri pemilik rumah harus dilarikan ke rumah sakit.
Ular yang tadi terkena pukulan kayu menjadi lemah dan mati.
Tak terselamatkan nyawa sang istri, ia pun
meninggal. Upacara pemakaman disiapkan, ayam terpaksa dipotong untuk makan para
sanak keluarga. Tidak cukup hanya ayam, kambing pun jadi santapan handai tolan
yang berdatangan ke rumah tersebut. Beberapa hari kemudian nasib sapi berakhir
dalam kuali dalam upacara mendoakan istri pemilik rumah. Tikus hanya dapat
bersedih dan menyesali peristiwa itu dari kejauhan.
Hal kecil yang tidak pernah terpikirkan oleh
kita dapat menjadi dampak yang sangat besar dan susah sekali diperbaiki.
Ilustrasi tadi dapat kita seimbangkan dengan sikap kita dalam kehidupan
berdampingan dengan orang lain. Seberapa besar kepedulian kita untuk tidak
berlomba-lomba melintasi lalu lintas? Seberapa seringnya kita tidak mematuhi
peraturan lalu lintas?
Seperti yang diperingatkan tikus pada ilustrasi
di atas. Demikian halnya selogan-selogan dan imbauan agar mentaati peraturan
lalu lintas. Penyakit yang mendarah daging menjadi ciri bangsa ini, padahal
sebenarnya kita sadar, perilaku menyimpang sangat merugikan banyak pihak.
Apakah ini tidak termasuk dalam kesombongan?
Manakala peraturan telah ditegakkan, dikarenakan kesombongan, sehingga
menyebabkan kerusakan di muka bumi. Maka dari itu, kita patut kawatir apakah
kita termasuk golongan orang zalim itu?
Kalau demikian kita perlu menginstrospeksi diri dan berubah dari sekarang untuk
mewujudkan peradaban manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian
berdasarkan akhlakul karimah.*