Open My Head

Rabu, 06 Juli 2011

Senjata yang paling sakti adalah kebaikan hati

Di dunia bisnis, pelayanan selalu menjadi nilai jual utama. Bukan kualitas, bukan kuantitas bukan bagusnya polesan atau kemasan. Tetapi pelayanan yang terbit dari kebaikan hati itulah senjata yang paling ampuh memenangkan pertandingan di dunia bisnis. 
Semakin baik hati seseorang, semakin banyak sahabatnya, semakin mudah mendapat rezeki, semakin mudah mencari pasangan hidup, semakin mudah pergi kemanapun. Demikianlah manfaat kebaikan hati. 
Kepada siapa kita harus berbaik hati? Kepada siapapun, kepada diri sendiri, kepada orang tua, kepada atasan, kepada bawahan, kepada sahabat, kepada tukang becak, bahkan kepada musuh sekalipun.
Oleh sebab itu, mari kita tumbuhkan kebaikan hati dan bersilaturrahmi kepada siapa saja. Sehingga kita mudah mendapatkan banyak sekali sahabat.

Kacamata Bersyukur

Menikmati matahari pagi, udara segar, kesejukan, indahnya pemandangan mentari yang bergegas menunaikan tugasnya hari ini, kicau burung-burung kecil gembira menyambut pagi. Tiada tara nikmat yang diberikan Sang Pencipta. Tak satupun nikmat yang dapat kita ciptakan sendiri. Bahkan memberi kehidupan pada sebatang rumput pun kita tidak mampu. Manusia dengan segala keterbatasan mengapa tak menundukkan diri pada Sang Maha Kuasa. Tuhan segala jagat raya. Tuhan yang memberi nikmat, bahkan berlimpah-limpah. 

Dari mana arah kita datang dan kemana akan kembali, kehidupan bergulir dengan cepat, kehidupan mempengaruhi karakter kita. Jika tak mampu membedakan mana kebutuhan dunia mana kebutuhan akhirat-bekal untuk kembali-kita akan terseret pada kesibukan dunia. Kita lupa untuk mempersiapkan hari yang kekal kelak. Kita lupa bersyukur pada nikmat udara yang tidak sedikit kita hirup, namun rupanya yang sedikit ini terlupa, sehingga kita lupa berterima kasih. 
Lebih disesalkan tak jarang orang lupa siapa yang mencipta semua ini. Hingga suatu ketika kita hanya melihat penguasalah yang mencipta semua ini, hingga kita tunduk hanya kepada penguasa. 
Bekerja, prihal yang utama dalam memenuhi kebutuhan hidup dimasa sulit seperti sekarang ini. Malangnya, kehidupan religi kita sampingkan dan menunda pelaksanaannya. Rasanya seperti lupa kita ini milik siapa. Bekerja seolah-olah ingin hidup selamanya, Berdoa seolah-olah ingin mati besok. Pernyataan yang terbit dari hadis Rasul ini memberi keseimbangan untuk berpikir bahwa hidup dilatar belakangi oleh dua hal yang berbeda. Dunia dan Akhirat. Keduanya penting bahkan sangat penting, walau berbeda namun keduanya selalu berdampingan. 
Pada kenyataannya hidup lebih memilih dunia seperti rumah abadi, tempat tinggal selamanya, seperti tak ingin pulang ke kampung halaman. Berlomba-lomba meninggikan semuanya. Mulai dari meninggikan rumah, bangunan, meninggikan pagar rumah dari tetangga lain, meninggikan ilmu dunia tanpa dibarengi minat meninggikan ilmu agama, meninggikan diri, meninggikan hati dan yang paling memperihatinkan meninggikan rok mini. 
Sebelum kita beranjak dari pagi yang indah ini, marilah kita introspeksi diri. Apa jadinya, jika Tuhan berniat menghentikan pasokan udara (Oksigen) barang lima menit saja. Apakah yang akan terjadi? Sungguh kita akan menyesal sekali betapa tidak aku menjadi orang yang mensyukuri nikmat udara. Betapa aku ini tidak berterima kasih kepada Tuhan. 
Bagaimana berterima kasih kepada-Nya? Kita dapat saling memberi, saling peduli, saling berbagi demi kesejahteraan umat. Kita perlu mengaplikasikan rasa berterima kasih dengan bersedekah, kemudian menjaga kelestariannya dan sebagainya.
Bersyukur dapat kita jadikan acuan apakah telah benar-benar mencintai agama ini, mencintai sesama, bahkan mencintai diri sendiri. Pribadi yang bersyukur tentulah ia pribadi yang membangun diri sendiri dan orang lain. Pribadi yang bersyukur adalah pribadi yang beruntung.

Berubah Butuh Pengorbanan

Perubahan dari yang tidak baik menuju yang baik adalah perubahan yang perlu dilakukan. Setiap saat harus lebih baik.
Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Begitulah,  perubahan itu penting dalam sendi-sendi kehidupan. Merubah kehidupan menjadi lebih baik itu termasuk memenuhi fitrah manusia. Sebab, manusia diciptakan untuk membesarkan agamanya. Lebih tepat kita sebut beribadah. Jika pemahaman ini lebih dipersempit, manusia hidup untuk bersyukur.
Semua yang kita lakukan atas dasar bersyukur. Walaupun dengan alasan berbeda, namun muaranya tetap pada rasa bersyukur. Hendak shalat misalnya, sahaja aku shalat agar aku bersyukur. Bagaimana kalau dirubah, aku bersyukur maka aku shalat. Cara berpikir seperti ini akan terasa berbeda, pelaku sama-sama shalat, tetapi bisa jadi hasilnya akan berbeda.
Bersyukur dulu baru bahagia. Orang yang bahagia senang melakukan apasaja, sementara orang yang tidak bahagia terbebani melakukan apasaja. Oleh sebab itu, bersyukur itu wajib bahagia. Kalau tidak bahagia, maka segeralah bahagia, sehingga kita tidak menderita.
Perubahan dimulai dari niat. Mengi’tikadkan dalam hatinya, aku harus berubah. Kemudian diperlukan aksi. Perbuatan nyata hingga tercapailah apa yang ingin dituju. Berubah dari yang tidak baik menjadi baik, dari yang kufur menjadi bersyukur. Tidak mudah tetapi bisa.
Benar sekali perubahan itu butuh pengorbanan, mesti ada yang dikorbankan. Apakah perasaan, materi, tenaga bahkan tak jarang menyita pikiran. Mesti ada tantangan untuk setiap langkah positif. Ada yang akan menghalang-halangi apapun itu.
Kita berbicara perubahan dari yang tidak baik menjadi baik dalam segala aspek. Kita sedang meniti jalan panjang agar dapat menjadi makhluk yang bernilai-nilai kemanusian. Semua itu harus dicapai. Bagaimanakah makhluk bernama manusia ini bisa mematuhi aturan-aturan sebagai manusia yang menjadikannya manusiawi di sisi Tuhannya.
Kesanalah arah perubahan itu datang dan bertujuan akhir. Sebab kita datang dan kembali ke sisi-Nya kelak, perubahan-perubahan ini sebagai bekal titipan amanah yang dititipkan untuk beberapa waktu kepad kita. Kelak kita kembalikan titipan ini menjadi rahmatan lil alamin. Perubahanlah yang membuat kita menjadi lebih baik.